Balaibahasajateng, Perbedaan Mahar dan Mas Kawin – Mahar berasal dari kata al-mahr yang berasal dari Bahasa Arab, arti dari kata ini dalam Bahasa Indonesia adalah Mas Kawin yang merupakan pemberian segala sesuatu kepada seorang perempuan yang akan dijadikan sebagai istri.
Mahar menurut bahasa memiliki delapan variasi Bahasa Arab dengan istilah yang berbeda pula, hal tersebut dijelaskan oleh al-Hafidz Ibn Hajar al-Astqalani. Untuk lebih jelasnya, kamu bisa melihatnya pada syi’ir atau nazaman yang terdapat dalam kitab Bulug al-Maram sebagai berikut:
“Mahar mempunyai delapan nama yang dinadzamkan dalam perkataannya: Shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hibah, iqr,‘alaiq”.
Pengertian mahar atau mas kawin menurut istilah terdiri dari beberapa pengertian. Yang mana apabila disimpulkan maka pengertian mahar tersebut adalah sebuah pemberian yang wajib diberikan oleh seorang pria pada seorang wanita dalam bentuk uang, barang ataupun jasa yang tidak bertentangan dengan agama islam ketika melangsungkan akad nikah. Sebenarnya mahar hanyalah sebuah nama atau sebutan untuk harta yang wajib dikeluarkan untuk diberikan kepada wanita sebagai calon mempelai dalam akad nikah.
Tujuan Mahar Dalam Islam
Kita perlu mengetahui secara lebih lanjut bahwa mahar hanyalah sebuah media ataupun wadah dan tentunya bukan menjadi tujuan utama dalam suatu pernikahan. Karena tujuan utama dari pernikahan dalam islam bukan merupakan cara sarana untuk mencari mahar yang harganya tinggi ataupun besar. Mahar atau mas kawin juga buak sebagai bahan pamer kepada khalayak umum, melainkan bertujuan untuk memuliakan mempelai wanita itu sendiri.
Jika kamu hendak menikah, maka sebaiknya tidak perlu memusingkan masalah mahar, tidak perlu menyusahkan diri dengan mas kawin, sebab tujuan utama dari menikah di dalam Islam bukanlah mahar.
Besarnya Mahar Dalam Pernikahan Menurut Islam
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mahar merupakan sebuah pemberian dari mempelai pria yang ditujukan untuk mempelai wanita yang akan dinikahinya dan nantinya mahar tersebut akan menjadi hak miliki istrinya secara penuh. Dalam praktiknya, sebenarnya tidak ada batasan khusus mengenai besaran mahar yang harus diberikan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan pada suatu hadis shahih, beliau memberikan mahar kepada istrinya sebanyak 12 uqiyah.
Abu Salamah menceritakan,
‘’Aku pernah bertanya pada Aisyah ra, ‘Berapa mahar Nabi SAW untuk para istrinya?’ Aisyah menjawab, ‘Mahar beliau SAW untuk istri-istrinya ialah sebanyak 12 uqiyah & satu nasy.’
Kemudian Aisyah bertanya,
‘Tahukah Kamu berapa satu uqiyah itu?’ Aku menjawab, ‘tidak’ Aisyah pun menjawab, ‘empat puluh dirham.’ A’isya’ bertanya, ‘Tahukah kamu berapa 1 nasy itu? Aku menjawab, ‘tidak’. Aisyah kemudian menjawab, “Dua puluh dirham’. (HR. Muslim)
Umar bin Khattab juga pernah mengatakan,
‘Aku tidak pernah mengetahui bahwa Rasulullah SAW menikahi seorang juga dari istrinya dengan mahar yang kurang dari 12 uqiyah.’ (HR. Tirmidzi).
Selama ini, yang kita tahu bahwa mahar sangat identik dengan segala sesuatu yang sifatnya duniawi seperti barang ataupun uang. Akan tetapi, sebenarnya mahar tidak harus selalu diidentikan dengan segala sesuatu yang sifatnya duniawi. Mahar juga bisa merupakan sesuatu yang bersifat akhirat, seperti keimanan. Sebagaimana yang telah diceritakan di dalam sejarah mengenai mahar yang diminta oleh Umumu Sulaim kepada Abu Thalhah.
Mahar juga dapat berupa ilmu atau bahkan dengan hafalan Al-Quran, atau mungkin berupa kemerdekaan atau pembebasan budak. Selain itu, mahar juga bisa berupa apa saja yang dapat diambil manfaatnya seperti yang telah dijelaskan dalam QS Al Qoshosh pada ayat ke 27.
Dalam kisah yang lainnya, Rasulullah pernah menikahkan putrinya, Fatimah dengan Sayyidina Ali yang pada saat itu menggunakan mahar baju besi milik Sayyidina Ali.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA,
‘‘Setelah Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, “Berikanlah sesuatu padanya (Fathimah).’’ Ali menjawab: Aku tidak punya sesuatu pun.’ Maka beliau SAW bersabda, ‘Dimana baju besimu? Berikan baju besimu itu padanya.’ Maka Ali kemudian memberikan baju besinya pada Fatimah. (HR Abu Dawud & Nasa’i).
Dalam suatu kisah, ada seorang pria yang meminta untuk Rasulullah nikahkah. Namun, pada saat itu ia tidak memiliki apapun yang bisa ia berikan sebagai mahar kepada mempelai wanita, walaupun hanya sebuah cincin dari besi.
Kemudian Rasul bertanya pada laki-laki tersebut,
‘Apakah Kamu menghafal Al Quran?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku hafal surat ini & surat itu (dia menyebutkan beberapa surat di dalam Al Quran).
‘Maka beliau SAW bersabda, ‘Aku menikahkan Kamu dengannya dengan mahar berupa surat Al Quran yang Kamu hafal itu’. (disarikan dari hadits yang cukup panjang di dalam Kitab Shahih Bukhari no: 1587).
Dari beberapa hadis dan ayat Al quran yang telah dijelaskan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada batasan terhadap bentuk dan juga besaran mahar pernikahan yang akan diberikan kepada mempelai wanita dalam islam. Akan tetapi, yang disunnahkah adalah mahar yang disesuaikan dengan kemampuan calon suami yang akan memberikannya.
Demikianlah pembahasan mengenai perbedaan mahar dan mas kawin yang ternyata hanya terletak pada bahasanya saja. Semoga bermanfaat.