Balaibahasajateng.web.id, Candi Gedong Songo: Sejarah, Corak, Letak, Peninggalan – Candi Gedong Songo, Gedongsanga atau Gedongsongo adalah istilah-istilah yang merujuk pada satu kompleks percandian. Tersebar di dua desa, yakni di Desa Candi, Kecamatan Bandungan dan di Desa Jubelan, Kecamatan Sumowono. Dua kecamatan tersebut berada di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Candi Gedong Songo berada di lereng Gunung Ungaran, pada ketinggian 1200-1400 mdpl. Meski dikatakan Gedong Songo, saat ini yang utuh hanya tersisa 5 kelompok candi. Candi paling bawah adalah Candi Gedong I, kemudian Candi Gedong II, Candi Gedong II, Candi Gedong IV dan Candi Gedong V yang paling atas.
Lokasinya tersebar di puncak-puncak bukit berbeda. Pola peletakan tersebut dikaitkan dengan konsep Triloka dalam tradisi Hindu. Selain 5 kelompok candi, yang tersisa hanya reruntuhan bangunan candi. Reruntuhan I di sisi barat Candi V, Reruntuhan II di sisi barat Candi IV dan Reruntuhan IIi di sisi barat laut Candi IV.
Sejauh ini ada 7 kelompok candi yang telah dipugar. Di antaranya adalah Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gedong III, Candi Gedong IV, Candi Gedong IVA, Candi Gedong IVB dan Candi Gedong V. Di bawah ini merupakan rangkuman sejarah Candi Gedong Songo, termasuk juga awal penemuan dan pemugarannya.
Sejarah Awal Candi Gedong songo
Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti, kapan dan untuk tujuan apa pembangunannya. Belum ada prasasti yang ditemukan yang biasanya digunakan para arkeolog untuk memperkirakan waktu pembangunannya. Sebagaimana yang digunakan dalam Sejarah Candi Borobudur maupun Sejarah Candi Prambanan.
Beberapa sumber mungkin menyebutkan bahwa Candi Gedong Songo merupakan peninggalan Dinasti Syailendra. Namun dalam sejarah, lazim diketahui bahwa Syailendra adalah penganut Buddha Mahayana. Adapun Gedong Songo adalah kompleks candi Hindu seperti Candi Prambanan yang dibangun Dinasti Sanjaya.
Lazim juga diketahui pada masanya, Syailendra dan Sanjaya adalah dua wangsa yang memiliki keterkaitan dalam banyak hal. Meski secara politis keduanya saling bersaing, namun harmoni religiusitas demikian kentara. Khususnya di masa Rakai Pikatan dari Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari Syailendra.
Sehubungan dengan sejarah Kompleks Candi Gedong Songo, artikel ini memilih referensi dari candi.perpusnas.go.id dan cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Pembangunan kompleks percandian ini diperkirakan semasa dengan Candi Dieng, sekitar abad ke-7 sampai ke-9, pada masa ketika Dinasti Sanjaya berkuasa.
Selain karena bercorak Hindu, perkiraan tersebut didasarkan pada lokasinya yang berada di daerah perbukitan. Dalam agama Hindu, dataran tinggi atau perbukitan dianggap sebagai perwujudan dari “kahyangan” sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Dibuatnya kompleks candi ini diduga untuk keperluan pemujaan.
Penemuan Candi Gedong Songo
Seiring berjalannya waktu, keberadaan Candi Gedong Songo diungkapkan untuk pertama kalinya oleh Loten pada tahun 1740 M. Selanjutnya hal ini dilaporkan kepada Th. Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning. Namun, pada bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatatnya dengan nama Gedong Pitue.
Nama Gedong Pitue digunakan karena saat itu yang ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Sisa bangunan lain baru ditemukan seiring dilakukannya sejumlah penelitian oleh para arkeolog Belanda, seperti Stein Callenfels (1908) dan Knebel (1911). Nama kompleks candi ini pun diubah menjadi Gedong Songo.
“Gedong” adalah istilah bahasa Jawa yang bisa dimaknai bangunan atau rumah. Adapun “Pitue” artinya tujuh dan “Songo” artinya sembilan. Jadi, Gedong Pitue yang disebut Raffles bermakna tujuh bangunan. Karena selanjutnya ditemukan dua bangunan lagi, maka diubah menjadi Gedong Songo atau sembilan bangunan.
Pemugaran candi pertama kali dilakukan pada tahun 1928-1929 M oleh dinas purbakala pemerintahan Belanda pada Candi Gedong I. Pemugaran Candi Gedong II pada tahun 1939-1931 M. Pemugaran dilanjutkan lagi oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, untuk Gedong III, Gedong IV dan Gedong V.
Selama hampir 10 tahun, mulai dari tahun 1972-1982 M, pemugaran dan penataan lingkungan candi dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1997, dilakukanlah penataan kembali dan pengembangan Kompleks Percandian Gedongsongo oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Bentuk Relief
Candi Gedong Songo memiliki banyak relief yang menghiasi dinding-dindingnya. Relief-relief ini memiliki makna simbolik yang penting dalam kepercayaan Hindu. Ada tiga jenis relief yang ada di Candi Gedong Songo, yaitu relief lingga, relief fauna, dan relief ornamentik.
Relief lingga merupakan relief yang menampilkan simbol lingga, yaitu lambang kesuburan dan kekuatan dewa Siwa. Relief ini menggambarkan kekuatan Siwa sebagai dewa pemujaan di Candi Gedong Songo.
Relief fauna menampilkan gambar binatang seperti burung, kera, dan gajah. Relief ini menggambarkan hubungan antara manusia dan alam, dan juga menunjukkan keberadaan satwa-satwa yang hidup di sekitar Candi Gedong Songo.
Relief ornamentik menampilkan ornamen-ornamen seperti bunga, daun, dan sulur-sulur. Relief ini menghiasi seluruh bangunan Candi Gedong Songo dan memiliki makna sebagai simbol keindahan.
Selian itu ada tiga gaya seni relief yang digunakan dalam Candi Gedong Songo, yaitu gaya Trowulan, gaya Kediri, dan gaya Singosari. Ketiga gaya seni relief ini memiliki ciri khas masing-masing dan mencerminkan pengaruh dari masa-masa berbeda dalam sejarah Indonesia.
Relief-relief di Candi Gedong Songo memiliki makna simbolik yang penting dalam kepercayaan Hindu. Relief-relief ini juga mencerminkan pengaruh seni dan budaya dari masa-masa berbeda dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, Candi Gedong Songo memiliki nilai seni dan budaya yang sangat tinggi, dan perlu dilestarikan dan dijaga keberadaannya sebagai warisan budaya Indonesia.
Baca juga : Perbedaan Candi Hindu dan Budha
Penutup
Candi Gedong Songo memiliki nilai seni dan budaya yang sangat tinggi sebagai warisan budaya Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengelolaan yang baik untuk menjaga keberadaannya. Dengan memahami makna simbolik dari relief-relief yang ada di Candi Gedong Songo, masyarakat dapat lebih menghargai dan memahami warisan budaya tersebut. Pemerintah juga dapat memperkuat upaya pelestarian dan pengelolaan Candi Gedong Songo dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya.
Dalam era globalisasi yang semakin maju, keberadaan Candi Gedong Songo sebagai warisan budaya Indonesia harus tetap dijaga agar dapat menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran bagi generasi muda. Melalui upaya pelestarian dan pengelolaan yang baik, Candi Gedong Songo akan terus menjadi salah satu keajaiban arsitektur kuno Indonesia yang patut dijaga dan dilestarikan.