Balaibahasajateng, Kerajaan Bali: Sejarah, Letak, Silsilah, Masa Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan – Tanda-tanda prasejarah Indonesia tidak bisa lepas dari keberadaan kerajaan-keraajaan kuno, terutama Kerajaan Bali di Pulau Bali.
Dikatakan awal berdirinya Kerajaan Bali berhubungan dengan kerajaan di Pulau Jawa, begitu pula bagaimana Kerajaan Bali runtuh.
Penasaran bagaimana sejarah lengkap Kerajaan Bali? Simak saja artikel berikut!
Bagaimana Sejarah Kerajaan Bali
Saat Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan, masyarakatnya banyak yang berpindah dan menetap di Bali.
Karena hal ini, bisa dikatakan bahwa sejarah Kerajaan Bali yang terletak di pulau Bali kemungkinan besar mempunyai ikatan erat dengan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa.
Sebagian juga ada yang mengatakan bahwa Kerajaan Majapahit sudah mendirikan sebuah koloni di pulau Bali pada tahun 1343.
Ketika keruntuhan sudah terlihat, ada perpindahan penduduk besar-besaran dari rakyat Majapahit di abad ke-15, mulai dari intelektual, seniman, pendeta, bahkan musisi.
Dengan demikian, tidak heran jika ada yang mempercayai bahwa Kerajaan Bali beserta rakyatnya merupakan pewaris tradisi Majapahit.
Namun, dari berbagai sumber dikatakan bahwa tanda-tanda kerajaan Bali sudah muncul sejak abad ke-8, dengan adanya keberadaan berbagai prasasti misalnya.
Pada abad ke-8, ditemukan beberapa cap berukuran kecil sekitar 2,5 cm yang terbuat dari tanah liat ditemukan di Pejeng, Bali.
Di tahun 882 M, ditemukan prasasti tertua di Bali, begitu juga dengan di tahun 911, yang belum tahu diketahui nama raja yang memerintahkan pada masa itu.
Namun, dengan adanya prasasti Blancong (Sanur) pada Tahun 914 M, dipastikan bahwa hal ini merupakan munculnya Kerajaan Bali.
Pendirinya adanya Sri Kesari Warmadewa, bertahta di Singhadwala.
Letak Kerajaan Bali
Kerajaan Bali merupakan sebuah kerajaan yang letaknya tak jauh dari Pulau Jawa, di kepulauan Sunda kecil, bahkan masih ada yang menyebut pulau ini merupakan bagian pulau Jawa.
Bali merupakan pulau berukuran kecil, namun pulau terbesar di Indonesia yang juga menjadi bagian dari provinsi tersebut.
Dari zaman dahulu bahkan hingga sekarang, masih banyak yang menyebut pulau ini sebagai Pulau Dewata.
baca juga: Letak Kerajaan Ternate
Silsilah Kerajaan Bali
a. Sri Kesari Warmadewa
Raja pertama Kerajaan Bali adalah Sri Kaesari Warmadewa pada tahun 914, yang bertahta di Singhadwala, berdasarkan penemuan Prasasti Blanjong yang tertulis dengan huruf Kawi dan Pranagari, berbahasa Bali Kuno dan Sansakerta.
Dikatakan juga bahwa beliau ternyata penganut Budha Mahayana.
b. Ratu Sri Ugrasena
Dua tahun berselang dan pada tahun 916 raja pun digantikan oleh Rati Sri Ugrasena, yang bertahta di Singhamandawa.
Dengan ini, beliau dikatakan memerintah pada waktu yang sama dengan Mpu Sendok.
Pada masa pemerintahannya, beliau membangun sembilan prasasti, yang secara umum tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu.
Ketika meninggal, di Air Mandatu beliau dicandikan.
c. Tabenendra Warmadewa
Beliau bertahta pada tahun 955-967 bersama sang istri yaitu Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi,
Beliau merupakan Anak dari Sri Ugranesa, dan karena itulah tahta turun kepadanya.
d. Jayasingha Warmadewa
Terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah benar Jayasingha merupakan keturunanTabenandra, karena pada tahun 960 Jayasingha sudah menjadi raja, sedangkan kita tahu bahwa Tabenendra masih menjabat hingga 967.
Namun, ada kemungkinan besar bahwa Jayasingha sudah diangkat menjadi raja sebelum Tabenandra.
Pada masa pemerintahannya, beliau membuat sebuah telaga atau pemandian di dekat dengan Tampaksiring, yang hingga kini disebut dengan Tirta Empul.
e. Jayashadu Warmadewa
Raja selanjutnya kemudian diambil alih oleh Jayashadu Warmadewa.
Kerajaan Bali di bawah pemerintahan beliau selama 8 tahun, dari 975 hingga 983.
f. Sri Wijaya Mahadewi
Tahta selanjutnya jatuh pada seorang wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi.
Pemerintahan beliau berlangsung dari tahun 983 hingga 989.
Ada yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya adalah dari mana beliau berasal.
Ada juga yang mengatakan beliau merupakan putri dari Empuk Sendok.
g. Dharma Udayana Warmadewa
Udayana memerintahkan Kerajaan Bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni, atau biasa dikenal dengan Mahendradatta.
Pada tahun 1001, istrinya meninggal, jadi hingga 1011, Udayana memerintahkan Kerajaan Bali seorang diri.
Mereka memiliki tiga putra, yaitu Marakata, Airlangga, dan Anak Wungsu.
h. Marakata
Udayana wafat dan kemudian tahta digantikan oleh salah satu putranya, yaitu Marakata.
Pemerintahannya berlangsung pada tahun 1011-1022 dengan gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa.
Di masa pemerintahannya, Rakyat memandangnya sebagai sosok yang melindungi dan perhatian.
Oleh karena itu, rakyat sangat menghormati raja mereka yang satu ini.
Beliau juga membangun sebuah candi di Gunung Kawi, daerah Tampaksiring.
i. Anak Wungsu
Tahta selanjutnya jatuh kepada adik Malakata, yaitu Anak Wungsu.
Beliau bertahta pada 1049 hingga 1077, dengan gelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka.
Raja ini termasuk raja yang paling banyak membuat prasasti di Kerajaan Bali, yaitu lebih dari 28 prasasti.
j. Jaya Sakti
Raja Kerajaan Bali setelah Anak Wungsu adalah Jayasakti, pada 1133 hingga 1150.
Dengan ini, dapat dikatakan bahwa kepemerintahan beliau sezaman dengan kepemerintahan di Kediri yaitu Jayabaya.
Dikatakan pula Jayasakti dipercaya sebagai jelmaan Dewa Wisnu karena kebijaksanaannya, berkemanusiaan, dan menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang adil.
Kitab Utara Widdi Belawan dan Kitab Rajawacana merupakan kitab-kitab yang dikenal sebagai kitab undang-undang yang digunakan beliau selama memerintah.
k. Jayapangus
Raja Jayapangus memerintah pada tahun 1177 hingga 1181.
Beliau mengaku telah menerima wahyu dari dewa, yang megatakan bahwa rakyat harus kembali melakukan upacara Galungan yang telah lama ditinggalkan.
Maka karena hal itu, beliau dianggap sebagai penyelamat oleh para rakyatnya.
l. Bedahulu
Beliau juga dikenal dengan Sri Astasura Ratna Bhumi Banten.
Masa pemerintahannya berlangsung pada 1332 hingga 1343, yang dibantu oleh Kebo Iwa dan Pasunggrigis sebagai Patihnya.
Pada masa ini, Gajah Mada melakukan Ekspedisi untuk melaklukan pulau Bali, dan Kerajaan Bali pun dengan ini berakhir dan wilayah Kerajaan Bali menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno
Masa Kejayaan Kerajaan Bali
a. Bidang Ekonomi
Kehidupan masyarakat Bali sangat bergantung pada bercocok tanam.
Penghasilan yang mereka dapatkan sebagian besar berasal dari sektor pertanian.
Hal ini didasari atas penemuan prasasti-prasasti Bali yang menyebutkan tentang sawah, parlak (sawah kering), gaja (lading), kebwan (kebun), dan kasuwakan (pengairan sawah atau irigasi).
Hal lain juga membuktikan dengan adanya sistem pembagian air yang diatur sesuai dengan kebutuhan dan luas tanah yang membutuhkannya.
Para pemilik sawah yang berdekatan dengan sawah pemilik sawah lain menggabungkan diri.
Mereka juga membentuk suatu organisasi yang dipimpin dengan sebuatan Pekaser.
Dia bertanggung jawab terhadap dalam pengurusaan pembagian air di sawah-sawah.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Bali sudah mengenal sistem irigasi yang baik selama berabad-abad yang lalu.
Di samping bercocok tanam di sawah, dalam memenuhi kehidupan mereka, mereka juga mengelola lading (parlak), tanah kebun (mmel), tanah tegalan (padang), dan juga menanami tanah mereka dengan berbagai macam kebutuhan seperti padi, gaga, serta berbagai macam palawija lainnya.
Di samping bercocok tanam, sumber kehidupan masyarakat lainnya adalah pertukangan dan kerajinan rumah tangga.
Para penduduk mengelompokkan diri mereka sesuai dengan bakat dan keahlian mereka masing-masing.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan atau tertarik dalam pembangungan akan menggabungkan dirinya pada kelompok Undagi Pengarung atau Undagi Batu.
Bagi mereka yang ingin berkontribusi dalam pengangkutan air, bisa bergabung dalam Undagi Lancang.
Undagi ini khusus bertugas membuat prasarana komunikasi di air seperti pembuatan perahu, jukung, sampan, dan sebagainya.
Di dalam bidang kerajinan, mereka disebut dengan Pande.
Terdapat Pande Mas, Pande besi dan Pande Tembaga.
Pande Mas adalah sebutan bagi mereka yang menghasilkan sesuatu yang berwujud perhiasan-perhiasan atau benda keagamaan lainnya.
Pande Besi dan Pande Tembaga yang mengasilkan sesuatu dari besi maupun tembaga, seperti keris, tombak, perlengkapan alat-alat upacara, dan peralatan senjata lainnya.
Selain itu, bentuk kerajinan lain yang mereka jalani adalah tenun-menenun.
Hal ini dibuktikan dengan adanya tulisan-tulisan seperti acadar (membuat pakaian), mengikat, dan mangnila (mencelup dan memberi warna biru, memang kudu (mencelup dan memberi warna prange), dan sebagainya.
Teknik pemberian warna pun sederhana, yaitu dengan teknik geringsing.
Teknik geringsing berarti pemberian warna yang berasal dari akar pohon-pepohonan sehingga warna yang dihasilkan tahan lama dan tidak mudah luntur.
Sebelum menenun benang, benang terlebih dahulu diikat dengan tali dengan pola yang diinginkan.
Kemudian, barulah dimasukkan ke dalam warna-warnanya yang telah disiapkan dan baru siap untuk ditenun menjadi kain.
Masyarakat juga mengenal peternakan.
Mereka memelihara beberapa jenis binatang seperti kerbau, lembu, kambing, ayam, itik, burung, babi, dan anjing.
Selain untuk memenuhi kebutuhan makanan, binatang-binatang tersebut juga berfungsi sebagai pelengkap upacara kegamaan serta kepentingan-kepentingan lainnya.
Misalnya, anjing selain berfungsi sebagai untuk keamanan dan keselamatan rumah, juga dipergunakan sebagai binatang perburuan.
Lembu, digunakan untuk membantu pengangkutan dan pengerjaan di sawah.
Kuda, sebagai sarana transportasi, menghubungkan dari desa ke desa lain.
Masyarakat juga mengenal perdagangan.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kata pken di beberapa buah prasasti.
Kata pken berarti pasar, yang sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat bali.
Secara logika, pasar adalah tempat terjadinya transaksi, persetujuan pertukaran di antara penjual dengan pembeli, dengan kesepakatan sehingga tidak terjadi adanya perselisihan di antara kedua belah pihak.
Bukti lainnya adalah penemuan kata banyaga (saudagar).
Saudagar dibedakan menjadi dua, yaitu wanagrama (untuk saudagar laki-laki) dan wanagrami (untuk saudagar perempuan).
Pada zaman Anak Wungsu, perekonomian sudah sangat pesat.
Hubungan perdagangan tidak hanya dilakukan pada antar desa.
Berdasarkan prasasti yang disebut Prasasti Banwa Bharu, para pedagang Bali sudah melakukan perdagangan hingga antar pulau, yang berbunyi: mangkaya ya hana banyaga sakeng sebrang jong, bahitra, rumunduk i manasa?
Artinya: andaikata ada saudagar dari seberang, yang datang dengan jukung bahita datang berlabuh di manasa.
Barang-barang yang diperdagangkan adalah barang apa saja, seperti kapas, benang beras, asam, dan lainnya.
Berbagai mata uang juga telah dikenal seperti ma, su, ku, piling.
Jadi, besar kemungkinan transaksi tidak hanya dilakukan dengan sistem barter, tapi dengan membayar dengan uang.
Di prasasti Bwahan dituliskan juga bahwa Raja Makarakata pernah menjual sebidang tanah kepada para penduduk desa dengan harga ma su 10 pilih, dan ma 10.
b. Bidang Politik
Masa kejayan Kerajaan Bali terjadi di masa pemerintahan Raja Dharma Udayana Warmadewa (989-1022).
Beliau dikenal dengan kewibawaannya, dan kebesarannya.
Oleh karenanya, tidak hanya oleh rakyatnya, para pendeta dan para raja memujinya.
Hubungan dengan kerajaan Jawa semakin baik ketika Raja Udayana menikahi Gunapria Dharmapadni yang dikenal sebagai Mahendradata, putri raja Mataram Kuno (Kerajaan Medang) yaitu Makuta Wangsa Wardhana, yang juga dengan ini merupakan cicit dari Mpu Sendok.
Raja Udayana menjalankan pemerintahan Kerajaan Bali bersama permaisurinya, dan dikatakan kewibawaan beliau semakin bertambah.
Keagamaan di masa pemerintahan beliau pun semakin berkembang.
Hal ini dibuktikan dengan didatangkannya empat rohaniawan yang berasal dari Jawa Timur, yaitu Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya.
Mpu Semeru (999 M), penganut ajaran Siwa, tinggal di Besaikh dan juga penjaga sekaligus merawat Pura Hyang Putranjaya.
Mpu Gana (1000 M), penganut ajaran Ganapatya, tinggal di Gelgel.
Mpu Kuturan, penganut ajaran Budha Mahayana, tnggal di Padangbai.
Mpu Gnijaya (1006), penganut ajaran Brahmaisme, yang tinggal di Gunung Lempuyang, dan sekarang telah dibangun Pura Lempuyang Madia.
Kehidupan masyarakat Bali juga terasa aman dan sejahtera di masa pemerintahan beliau.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sebelas Senapati terpilih yang mengatur dan mengayomi pulau Bali.
Sebagai tanda jasa untuk para kesebelas senapati, Raja Uduyana memberi imbalan berupa sawah bukti.
c. Aspek Sosial dan Budaya
Keagamaan merupakan sesuatu yang kental di kehidupan kebudayaan masyarakat Bali.
Pada umumnya, kerajaan bali menganut kepercayaan Hindu, walau pada perkembangannya kepercayaan seperti animisme dan dinamisme masih terlihat.
Hal ini bisa disebabkan karena pengaruh nenek moyang yang sudah sejak lama ada.
Pada masa pemerintahan Udayana, kemajuan di bidang keagamaan sangat kuat.
Toleransi antar keberagaman kepercayaan sangat terlihat.
Tidak ada perselisihan di antara semua umat.
Mulai dari pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para ahli (Mpu) juga rutin melakukan Api Kurban (homa), pengucapan Weda Mantra, alunan suara genta dalam rangka pemujaan kebesaran Sang Hyang Widhi serta para Dewata.
Bunyi-bunyian juga dilakukan di tiap-tiap desa tak henti-henti, dalam rangka pada upacara Dewa Yadnya di masing-masing pura.
Sebelumnya, sembilan sekte sering sekali menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat, namun hal itu akhirnya dapat ditata kembali dengan diadakannya pertemuan dengan kelompok Budha Mahayana, Siwa dan Bali Aga beserta para sektenya.
Baca juga: pola lantai Tari Kecak
Pertemuan diketuai oleh Mpu Kuturan, yang kebetulan sedang menjabat sebagai Ketua Majelis Tertinggi di Kerajaan Bali pada masa Pemerintahan Raja Udayana tentu saja.
Hasil pertemuan tersebut yang telah disetujui manghasilkan lima kesepatakan, antara lain:
- Paham Trimurti/ Tri Sakti/ Tri Tunggal ditetapkan sebagai dasar keagamaan bagi semua paham dan aliran.
- Di setiap desa adat atau Pakraman diwajibkan untuk membangun Pura Kayangan Tiga.
- Di setiap rumah wajib membangun bangunan suci rong tiga yang dikenal dengan sebutan sangga kemulan.
- Semua tanah pekarangan dan Pura Kayangan Tiga yang terletak di sekitar desa menjadi milik desa dan karenanya tidak boleh untuk diperjual belikan.
- Agama Siwa Buda adalah nama agama telah disepakati.
Di sisi lain, masyarakat Bali mengenal dewa-dewa setempat dengan sebutan-sebutan, seperti dewa air dan dewa gunung.
Mereka juga mengadakan upacara Pitra Yodnya, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang dan cikal bakal.
Pura Dalem merupakan Pura yang terletak di daerah sekitar kerajaan.
Sedangkan untuk keluarga kerajaan terdapat pura khusus yang dibuatkan dengan sebutan Sanggah atau Merajan.
Dewa tidak dibuatkan patung, atau tidak dipatungkan di Bali.
Patung hanya sebagai hiasan di Bali.
Kalaupun ada patung dewa di Bali, itu merupakan pengaruh dari budaya Jawa.
Di samping itu, di dalam kuil ada tempat tertentu untuk menjalani prosesi Ngaben.
Ngaben merupakan proses pembakaran mayat.
Ngaben merupakan budaya yang berasal dari India, dan hal ini membuktikan betapa kuatnya pengaruh India di kepulauan Bai.
Persis seperti ajaran Hindu di India, kerajaan Bali juga memiliki sistem kasta atau bermasyarakat yang dibagi menjadi beberapa kasta.
Mereka terdiri dari Brahmana, ksatria, dan waisya, yang biasa dikenal dengan Triwangsa.
Selain tiga golongan tersebut, sebenarnya masih ada sebutan lagi yaitu Kahula atau Kalula.
Kahula merupakan keanggoatan masyarakat yang tidak memegang pemerintahan, yaitu para budak.
Para budak di sini merupakan golongan terendah sehingga mereka yang berasal dari golongan lain dapat berbuat seenak yang mereka mau.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan tulisan di sebuab prasasti yang berbunyi: kunang ya tan aharp ya sumahwa hutangnya crakaknanya ikang rarai hulu, irikang pradana.
Artinya: Adapun andaikata seseorang tidak sanggup membayar hutangnya, agar menyerahkan budak miliknya kepada orang yang mau memberikan pinjaman.
Masyarakat juga menerapkan pemberlakuan sistem hak waris.
Pendapatan hak waris antara laki-laki dan perempuan dalam suatu keluarga berbeda.
Anak laki-laki mendapatkan harta benda lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan.
Pada sebuah prasasti tertulis: … lawan yan hana krangan pjah ri thaninya patlun sakwehni kdik ni drwyannya yan lanang pjah rwang bhaga munggaha i bhatara ring punta hyang subhaga mareng walu, yang stri rwang bhaga mareng walu kunang krangan tumpur sahanani drwayanya kapwa mungghai i bhatara ring punta hyang…”
Artinya: … selanjutnya apabila keluarga (yang tidak mempunyai anak) meninggal di desanya segala hak miliknya dibagi menjadi tiga bagian, apabila yang meninggal suaminya dua pertiga dari miliknya maka diserahkan kepada bhatara puntar hyang, sepertiga diberikan kepada jandanya. Seandainya yang meninggal isitinya, dua pertiga dari kekayaannya diberikan kepada dudanya, dan sepertiga bagian diserahkan kepada bhatara punta hyang, selanjutnya apabila yatim piatu seluruh hak milik yang ditinggalkan diserahkan kepada punta hyang …”
Dari segi kesenian, Bali sudah mengenal beberapa cabang seni.
Pada sebuah prasasti sederetan jenis kesenian muncul, yaitu pamukul (pemukul gamelan), pagending (penyanyi), pabunjing (pemain angklung), papadaha (tukang kendang), perbangci (peniup seruling), pertapukan (lakon topeng), dan parkwayang (tontonan wayang).
Di masa Anak Wungsu, kesenian terlihat jelas.
Dari berbagai kesenian di atas, maka dibedakanlah menjadi dua yaitu kesenian kraton dan kesenian rakyat.
Beberapa nama-nama kesenian dan tontonan pada masa Raja Anak Wungsu antara lain:
Agending i haji, yaitu penyanyi istana yang bernyanyi untuk raja.
Agending i ambaran, yaitu seseorang yang menyanyi dari desa ke desa lainnya.
Awayang i haji, yaitu tontonan wayang untuk raja.
Amukul, yaitu ditujukan untuk sekelompok gamelan.
Anuling, yaitu ahli seruling.
Aringgit, yaitu semacam tontonan wayang.
Abusya, Abanjuran dan Atali-tali, beum diketahui apa maksudnya.
Menmen, semacam tontonan topeng.
Pirus, kumpulan pelawak seperti badut.
Abunawal, tontonan dagelan atau lawakan.
Runtuhnya Kerajaan Bali
Runtuhnya kerajaan Bali terjadi pada masa pemerintahan Raja Bedahulu, atau dikenal dengan nama Mayadenawa.
Beliau memerintahkan kerajaan dengan seorang patih yang sakit bernama Ki Kebo Iwa.
Suatu ketika, Kerajaan Majapahit melakukan penaklukan kerajaan Bali, yang dipimpin Patih Gajah Mada.
Ketika Kerajaan Bali tidak mampu ditaklukkan, Gajah Mada mengundang perwakilan Kerajaan Bali ke kerajaannya untuk bermusyawarah.
Maka, pergilah Ki Kebo Iwa.
Tapi sesampainya di sana, Ki Kebo Iwa ditipu; beliau dibunuh.
Kemudian Gajah Mada pura-pura menyerah dan meminta untuk berunding di Bali.
Sialnya, raja Bali malah ditangkap dan dibunuh.
Maka, dengan ini Kerajaan Bali pun runtuh dan jatuh kepada Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Silsilah Kerajaan majapahit
Peninggalan Kerajaan Bali
Kerajaan Bali meninggalkan banyak sekali peninggalan. Berikut beberapa peninggalannya:
a. Candi Gunung Kawi
Candi ini juga dikenal dengan Candi Padas, terletak di Sungai Pakesiran, Tampaksiring, Bali.
Terbuat dari pahatan di dinding tebing batu padas, membuat candi tersebut tampat berbeda dari candi-candi lain yang biasanya terbuat dari bata merah atau batu gunung.
Candi ini merupakan peninggalan Raja Marakata yang kemudian pembangunannya diselesaikan oleh Raja Anak Wungsu.
b. Prasasti Blanjong
Prasasti ini merupakan prasti tertua yang membahas tentang Pulau Bali.
Raja Sri Kesari Warmadewa-lah yang mengeluarkan prasasti tersebut.
Prasasti itu berisi: Pada tahun 835 Caka bulan Phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di keratin Singhadwala bernama Sri Kesari telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal. Inilah yang diketahui sampai di kemudian hari.
c. Pura Gunung Panulisan
Pura Gunung Panulisan dikenal sebagai Pura Tegah Koripan, ada juga yang menyebut dengan Pura Pamojan (panah raja), namun lebih dikenal dengan Pura Puncak Panulisan karena terletak di puncak bukit Panulisan.
Pura ini dibangun dengan adanya akulturasi kebudayaan Jawa, dengan sanggaran meru, dan gedong.
Sebagian berpendapat Pura ini dibangun pada tahun 300, kemudian dilanjutkan pada tahun 1000 hingga 1300, mendekati berakhirnya masa pemerintahan Majapahit.
d. Candi Tebing Jukut Paku
Candi ini diperkiran peninggalan dari Raja Marakata, namun ada yang mengatakan peninggalan dari Raja Anak Wungsu.
Candi tersebut terleak di Kabupaten Gianyar, di dekat sebuah jurang.
Candi ini dibuat dengan cara dipahat pada permukaan tebing sehingga membuatnya mampu bertahan hingga sampai saat ini.
e. Pura Besakih
Pura Besakih atau Pura Agung Besakih merupakan kompleks pura di kabupaten Karangasem, maka tidak hanya terdapat satu pura, tapi banyak Pura.
Oleh kerena, Pura Agung Besakih dijadikan sebagai pusat persembahyangan, dengan penataran yang disebut dengan mother of temple.
f. Candi Mengening
Berletak di Banjar Sarasada, Tampaksiring, Gianyar.
Candi tersebut merupakan peninggalan Raja Marakata pada tahun 1022.
Di tempat ini terdapat sumber daya air yang melimpah dan juga aliran sungai yang indah.
g. Candi Wasan
Candi ini terletak di Dusun Belahtanah, Gianyar punya, sekitar 15 km dari Denpasar kota.
Tinggi candi mencapai 15 m, dan kesimpulan observasi menyatakan candi tersebut diperkirakan merupakan peninggalan era abad 13 hingga 14.
Baca juga: 15 kerajaan hindu budha di indonesia
Bagaimana? Sudah dapat wawasan baru kan, tentang Kerajaan Bali?
Semoga bermanfaat, ya!